KIM PLUS – Abdul Fikri Faqih, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dari Fraksi PKS, bukanlah sosok yang hanya duduk di kursinya menikmati kekuasaan. Sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI periode 2019-2024, Fikri dengan lantang menyerukan perubahan besar dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam sambutannya di workshop pendidikan bertema “Peran Pendidikan dalam Penyiapan SDM Unggul Indonesia Emas 2045” di Hotel Grand Dian, Kabupaten Tegal, Fikri mengangkat isu yang selama ini seolah disembunyikan di bawah karpet: darurat moralitas pendidikan di tanah air. Bukan hal sepele, dan Fikri tak ragu menyebut ini sebagai persoalan yang harus segera diatasi oleh pemerintahan baru.
Berbicara di depan pejabat pendidikan dan tokoh-tokoh penting dalam dunia pendidikan, Fikri tidak memedulikan bahasa diplomatis atau nada merendah. Baginya, masalah ini sudah mencapai titik krisis. “Kita bicara soal moralitas di dunia pendidikan yang hancur lebur. Tawuran pelajar, kekerasan, hingga pelecehan seksual terhadap anak-anak sudah di luar batas. Ini adalah tanda bahwa moralitas di kalangan pelajar kita sedang dalam kondisi darurat!” ujarnya dengan tegas, membuat para hadirin terdiam. Ini bukan sekadar retorika, tetapi realitas yang telah mencoreng wajah pendidikan di Indonesia.
Sebagai seorang legislator yang mewakili daerah pemilihan IX Jawa Tengah (Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal), Fikri merasa bertanggung jawab untuk memperjuangkan evaluasi total sistem pendidikan. Ia dengan keras mendesak pemerintahan yang baru nanti, terutama Menteri Pendidikan yang akan datang, untuk segera turun tangan. “Sudah terlalu lama kita mengabaikan masalah ini. Pemerintah baru harus berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pendidikan kita selama beberapa tahun terakhir,” serunya dengan nada penuh otoritas.
Fikri tidak hanya berbicara di udara, ia mengaitkan ucapan dengan bukti nyata. Di berbagai daerah, sudah terlalu banyak kasus-kasus pelanggaran moralitas yang melibatkan siswa. Dari tawuran yang memakan korban hingga kasus perundungan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak di sekolah dasar. “Ini bukan lagi masalah sepele, ini adalah krisis moralitas yang telah merambah ke seluruh aspek pendidikan kita,” ungkapnya dengan sorotan tajam. Dia menegaskan bahwa ini adalah ancaman serius bagi masa depan bangsa jika tidak segera ditangani.
Fikri juga mengkritik pendekatan pendidikan karakter yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah. Baginya, program-program pendidikan karakter selama ini hanyalah simbolis dan tidak menyentuh akar permasalahan. “Kita sudah lihat banyak program yang disebut-sebut sebagai pendidikan karakter, tapi mana hasilnya? Tawuran terus meningkat, perundungan makin merajalela. Pendidikan karakter itu harus menyentuh akar persoalan, bukan hanya sekadar jargon kosong!” ujarnya dengan nada penuh kekesalan.
Selama lima tahun menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi X, Fikri mengaku bahwa ia sudah banyak memperjuangkan isu moralitas dalam pendidikan. Namun, ia juga dengan jujur mengakui bahwa usaha tersebut sering kali terbentur oleh kebijakan yang lamban dan ketidakpedulian dari pihak-pihak terkait. Salah satu contohnya adalah kontroversi alat kontrasepsi di sekolah. “Beberapa waktu lalu, ada wacana alat kontrasepsi masuk ke sekolah-sekolah. Saya tegaskan, ini adalah langkah yang sangat membahayakan. Bagaimana mungkin kita membicarakan moralitas pendidikan ketika hal seperti ini bahkan bisa dipertimbangkan?” tukasnya dengan nada sinis.
Fikri tidak ragu untuk mengingatkan menteri baru nanti bahwa kompleksitas masalah moralitas pendidikan tidak bisa diselesaikan dalam semalam. Butuh pendekatan strategis, dan menurutnya, langkah pertama adalah memulai dari masalah yang paling mendesak. “Tentu saja, masalah ini sangat kompleks. Kita tidak bisa berharap semua selesai dengan cepat. Tapi menteri baru harus tahu dari mana memulai. Ini adalah tantangan besar bagi Menteri Pendidikan yang akan datang,” katanya, memberikan tantangan terselubung kepada pemerintah yang baru.
Kritik Fikri tidak berhenti sampai di situ. Ia juga menyarankan agar pemerintah lebih banyak “belanja masalah” di lapangan. Bukan hanya mendengar laporan-laporan formal yang disodorkan oleh birokrat pendidikan, tetapi benar-benar turun ke bawah dan melihat sendiri kondisi yang terjadi di sekolah-sekolah. “Kita butuh menteri yang tidak hanya duduk di belakang meja. Kita butuh seseorang yang berani melihat langsung masalah di lapangan, menyerap umpan balik, dan kemudian berani mengambil tindakan tegas,” tegas Fikri dengan penuh keyakinan.
Dalam workshop yang dihadiri oleh para guru, kepala sekolah, komite sekolah, dan perwakilan yayasan pendidikan dari seluruh Kabupaten Tegal itu, Fikri memastikan bahwa isu ini tidak akan ia biarkan berlalu begitu saja. Dia berkomitmen untuk terus mendorong pemerintah agar mengambil tindakan nyata. Baginya, pendidikan moral bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak yang harus menjadi prioritas utama. “Jika kita ingin Indonesia Emas 2045, kita harus mulai sekarang dengan moralitas yang kuat. Jika tidak, mimpi itu hanyalah khayalan semata,” katanya, menyindir visi besar pemerintah yang tanpa tindakan konkret.
Fikri menutup sambutannya dengan penuh keyakinan bahwa hanya dengan pemimpin yang berani, Indonesia bisa keluar dari krisis moralitas ini. Dia menantang semua pihak, terutama para pemimpin pendidikan di masa depan, untuk tidak takut membuat perubahan. “Kita tidak bisa terus bermain aman. Jika kita ingin perubahan, kita harus berani melangkah lebih jauh. Dan itu berarti, kita harus berani mengakui kesalahan kita selama ini, dan mulai bergerak menuju solusi yang nyata,” tutupnya dengan penuh percaya diri.
Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa Fikri adalah salah satu legislator yang berani berbicara tanpa basa-basi. Ia menyadari bahwa tugasnya bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai penggerak perubahan. Dan perubahan itulah yang ia tuntut, tanpa kompromi.