Drama Dukungan Politik: Ridwan Kamil di Persimpangan Kekuasaan

KIM PLUS – Koalisi Indonesia Maju Plus yang semula digadang-gadang menjadi tameng tak tertembus dalam mendukung Ridwan Kamil dan Suswono, kini berubah jadi arena komedi politik. Bayangkan saja, koalisi yang seharusnya bersatu malah jalan sendiri-sendiri seperti orkestra tanpa konduktor. Alih-alih bersinergi, KIM Plus di Jakarta tampak seperti tumpukan puzzle yang tak kunjung tersusun rapi. Ini bukan hanya masalah teknis atau logistik kampanye, tapi lebih pada pengkhianatan dari dalam yang membuat Ridwan Kamil terpaksa “ngemis” ke Prabowo dan Jokowi untuk menguatkan pijakannya.

Dapat dibayangkan, dalam hiruk-pikuk menuju kursi Gubernur Jakarta, Ridwan Kamil terpaksa memohon restu pada dua sosok paling kuat di Republik ini. Sialnya, tindakan ini malah mengesankan bahwa Ridwan Kamil tak cukup tangguh mengandalkan dukungan dari koalisinya sendiri. Pengamat politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, dengan jeli menilai bahwa langkah Ridwan Kamil ini bukan sekadar “sowan” kepada para penguasa, tapi cerminan nyata dari keretakan dan kebingungan di tubuh KIM Plus yang semakin tak terkontrol.

KIM Plus seharusnya menjadi koalisi yang kokoh dan mendominasi. Namun, kenyataan pahit menunjukkan sebaliknya; mereka justru sibuk mengurus kepentingan masing-masing. Banyak kader dan caleg gagal dari partai-partai anggota KIM Plus yang malah membelot, mendukung pasangan lawan Pramono-Rano. Ini bukan hanya menjadi kerugian besar bagi Ridwan Kamil dan Suswono, tapi juga sebuah penghinaan atas kepercayaan yang diberikan rakyat Jakarta kepada koalisi yang gagal bersatu di saat paling genting.

Aneh memang, jika koalisi yang sudah penuh warna ini justru menjadi beban bagi Ridwan Kamil. Ujang menilai, kecuali Golkar dan PKS, partai-partai di KIM Plus lainnya sama sekali tidak mendapatkan manfaat konkret dari kemenangan Ridwan Kamil jika itu terjadi. Tak heran, mereka memilih berjalan sendiri, meninggalkan Ridwan Kamil berjuang sendirian, memanfaatkan sisa kekuatannya untuk bernegosiasi dengan para penguasa pusat.

Langkah Ridwan Kamil menemui Prabowo dan Jokowi adalah sebuah pengakuan tanpa kata-kata bahwa KIM Plus tak mampu menjaganya. Ia terpaksa mencari dukungan langsung dari dua tokoh besar ini, menunjukkan betapa koalisinya sendiri gagal menjadi perisai yang diharapkan. Pertemuan tersebut bukannya tanpa arti, bahkan Ridwan Kamil terang-terangan menyatakan bahwa audiensi ini adalah bentuk dukungan nyata dari Prabowo dan Jokowi.

Namun, apakah dukungan Prabowo dan Jokowi cukup? Elektabilitas pasangan Ridwan Kamil-Suswono tampak stagnan, sementara Pramono-Rano justru mengejar dan terus menyalip. Tanpa dukungan koalisi yang solid, segala pergerakan Ridwan Kamil menjadi hambar. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa rencana besar KIM Plus hanya ilusi, kosong tanpa semangat solidaritas yang sesungguhnya.

Ridwan Kamil mungkin berharap dukungan dari dua sosok sentral ini bisa menjadi penggerak elektabilitasnya, tapi harapan itu tampaknya terlalu muluk. Ujang menegaskan, jika KIM Plus tetap jalan masing-masing, maka Ridwan Kamil hanya bisa berharap pada keajaiban. Pertemuan dengan Prabowo dan Jokowi hanyalah strategi bertahan, langkah terpaksa karena tidak ada lagi yang bisa diandalkan.

Menariknya, Ridwan Kamil pun tak segan membalas kritik yang mengatakan pertemuan ini sebagai sinyal kelemahan. Ia justru dengan percaya diri menegaskan bahwa kesediaan Prabowo dan Jokowi memposting pertemuan tersebut di media sosial adalah bukti dukungan. Namun, apakah dukungan virtual ini akan cukup menggoyang hati rakyat Jakarta? Ataukah justru rakyat akan melihat ini sebagai tanda lemahnya pondasi politik Ridwan Kamil?

Kekecewaan terhadap KIM Plus kini tak bisa ditutupi. Koalisi yang awalnya diharapkan menjadi motor pemenangan justru berubah menjadi beban yang harus dipikul. Ridwan Kamil, dalam langkah politik terberatnya, terpaksa bersandar pada nama besar Jokowi dan Prabowo, memohon dukungan di saat koalisi yang mengusungnya gagal membuktikan kesetiaan.

Ironisnya, koalisi ini diciptakan dengan impian kemenangan mudah bagi Ridwan Kamil, namun realitasnya justru jauh dari ekspektasi. Koalisi besar yang penuh partai nyatanya tak lebih dari nama tanpa substansi, sebuah kapal besar yang tak bisa diandalkan untuk mengarungi arus politik keras di Jakarta. KIM Plus kini tampak tak lebih dari simbol yang kosong, dengan kesetiakawanan yang mudah luntur demi kepentingan pribadi.

Dukungan dari Prabowo dan Jokowi adalah sinyal bahwa Ridwan Kamil masih punya secercah harapan, tapi tidak lebih dari itu. Tanpa komitmen penuh dari KIM Plus, Ridwan Kamil hanya berjalan dengan bantuan tambalan, sementara lawan politiknya terus memperkuat diri di lapangan. Koalisi besar ternyata tidak sejalan dengan kemenangan besar.

By kim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *