KIM PLUS – Debat perdana Pilkada Tegal yang digelar oleh KPU Tegal berlangsung panas, tegang, dan penuh kejutan. Mas Kaji Ischak selaku calon bupati yang didukung penuh rakyat, tanpa ampun menohok lawannya dengan pertanyaan mematikan soal Perda Keagamaan dan Pesantren. Mas Kaji Ischak dengan tatapan tajam melontarkan pertanyaan retoris yang membuat Bima Sakti-Mujab mencret di panggung. Semua tahu, dulu fraksi PDI Perjuangan pengusung Bima Sakti, menolak Perda Pendidikan Madrasah Diniyah. Satu momen yang cukup untuk merusak citra mereka di mata masyarakat Tegal yang kuat dalam tradisi agama dan pesantren.
Wajah Bima Sakti langsung menunjukkan kebingungan dan kegelisahan yang jelas. Bagaimana tidak? Masa lalu partainya dalam menolak Perda Keagamaan ibarat noda hitam yang tak bisa dihapus. Bima hanya bisa terdiam ketika Ischak melemparkan pertanyaan tajam tentang Perda Pendidikan Madrasah Diniyah.
Jawaban yang diharapkan tak kunjung muncul dari mulut Bima maupun Mujab. Blunder demi blunder justru tercipta dari kebungkaman mereka. Sebaliknya, Ischak semakin percaya diri. Dengan segala kekuatan intelektual dan dukungan moral yang ia miliki, Ischak telah membuat Bima dan Mujab tampak tak lebih dari pasangan yang hilang arah di depan publik. Jawaban Bima dan Mujab semakin menunjukkan lemahnya mereka dalam isu keagamaan, sesuatu yang seharusnya sangat krusial di Tegal.
Mujab, yang katanya lulusan luar negeri hanya berdiri kaku. Kalau memang dia berpendidikan tinggi seharusnya dia bisa mengelak atau setidaknya memberikan jawaban diplomatis. Namun, apa yang mujab lakukan? Hanya memperlihatkan ketidakmampuan berpikir cepat, menunjukkan sisi lemahnya yang begitu ketara. Tak ada satu pun argumen cerdas atau kata-kata bernas yang keluar dari mulutnya. Bukankah ini sangat memalukan?
Di balik segala atribut pendidikan dan jabatan, Mujab terbukti hanya sekadar hasil branding tanpa isi. Jika lawan politik sekelas ini saja tidak bisa menjawab pertanyaan dasar soal Perda Keagamaan, bagaimana bisa mereka diharapkan untuk memahami masalah yang lebih kompleks? Masyarakat Tegal butuh pemimpin yang benar-benar peduli pada identitas dan nilai-nilai lokal, bukan seseorang yang bahkan tak bisa membela keagamaan.
Sementara Bima terus terjebak dalam bayangan gelap masa lalu partainya, Ischak tampil penuh wibawa. Dia tidak perlu berbicara panjang lebar untuk memenangkan hati rakyat karena masyarakat bisa melihat sendiri siapa yang sungguh-sungguh paham dan peduli pada kehidupan keagamaan mereka. Saat Bima dan Mujab terseret dalam kebingungan dan ketidaktahuan, Ischak tetap berdiri teguh mengukuhkan posisinya sebagai calon yang berani, cerdas, dan berintegritas.
Pertarungan di panggung debat ini sudah menggariskan hasilnya. Bima-Mujab, dengan segala kelemahannya jelas bukan tandingan bagi Ischak yang memiliki pemahaman mendalam tentang kebutuhan Tegal. Sebaliknya, Bima-Mujab hanyalah boneka kosong yang mencoba menutupi ketidakmampuan mereka dengan atribut partai banteng. Masyarakat Tegal sudah melihat siapa yang benar-benar layak mereka pilih. Debat pertama ini telah membuktikan segalanya: Ischak-Kholid unggul jauh di atas lawan.