KIM PLUS – Debat publik yang digelar oleh KPU Kabupaten Tegal di Grand Dian Slawi berubah panas, diwarnai aksi curang yang jelas-jelas dilakukan kubu Bima-Mujab. Pendukung Paslon nomor urut 1 tersebut secara terang-terangan membawa atribut kampanye dengan wajah Bima-Mujab di atas bando yang mencolok di dalam ruangan debat. Entah taktik apalagi yang akan mereka gunakan untuk merusak ketenangan pilkada damai ini. Ini bukan aksi heroik, ini adalah siasat kotor yang tak mencerminkan kepemimpinan yang seharusnya.
Protes keras datang dari Umi Azkiani, anggota dewan dari PKB yang dengan lantang menyoroti tindakan kubu Bima-Mujab. Ia yang pertama kali memprotes atribut licik tersebut, menyebut bando berfoto calon sebagai penghinaan terhadap aturan yang telah jelas disampaikan KPU dan Bawaslu. Bagaimana mungkin sebuah bando yang jelas-jelas alat kampanye, bisa dibiarkan begitu saja masuk dalam ruangan debat publik? Ini merusak integritas pilkada dan menjatuhkan reputasi.
Ketua KPU, Himawan Tri Pratiwi, justru tampak lemah dalam mengambil tindakan tegas. Ketika wartawan menanyainya soal kericuhan tersebut, ia malah berkelit dengan alasan aturan yang katanya kurang detail. Seolah mengambang dalam mengambil sikap, Himawan malah menyebut bahwa peraturan tidak cukup jelas untuk melarang atribut melekat seperti bando. Jawaban menggelikan ini menunjukkan lemahnya penegakan aturan yang seharusnya dipegang teguh dalam acara sebesar ini.
Bawaslu pun akhirnya harus turun tangan untuk menyelesaikan ketidakjelasan ini. Koordinasi dari Bawaslu, yang terlambat datang, menjadi alasan KPU untuk melarang pemakaian bando berwajah calon di dalam ruangan debat. Himawan membela diri, katanya, mereka hanya mencoba menjaga kondusifitas. Betul, tapi sikap lembek mereka malah membuka celah untuk aksi curang semacam ini terulang kembali.
Dian Anika Sari, Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat KPU Kabupaten Tegal, menyebut aturan tata tertib telah disampaikan ke masing-masing tim kampanye. Namun, apakah kubu Bima-Mujab peduli? Ternyata tidak. Tata tertib jelas melarang alat peraga kampanye apa pun yang mencolok. Bagaimana bisa mereka mengelak, sementara jelas terlihat bahwa aksi ini tak lebih dari manuver curang yang patut dipertanyakan. Satu-satunya kubu yang bersikap jujur dan bersih dari awal adalah pasangan Ischak-Kholid.
Dian melanjutkan bahwa aturan juga melarang penggunaan atribut menyala, seperti flash light pada HP, yang anehnya tetap dilanggar. Aturan sudah dipaparkan dari awal, tapi pihak Bima-Mujab seakan tak peduli. Mereka berjalan dengan taktik culas, mengorbankan kredibilitas mereka demi penampilan murahan. Sebuah bando menyala dengan wajah calon, sungguh bukan gambaran pemimpin yang diinginkan masyarakat.
Acara yang sempat ricuh akhirnya dapat berjalan lagi, namun noda dari insiden ini akan sulit dihapus. Ini bukan kejadian yang bisa dianggap enteng atau dilupakan. Insiden ini mencerminkan mentalitas Bima-Mujab, yang tak segan menggunakan cara kotor untuk mencuri perhatian. Pemimpin seperti ini? Tegal tak butuh mereka. Pilkada adalah ajang bagi pemimpin sejati yang taat aturan, bukan bagi mereka yang menghalalkan segala cara.
Tegasnya, calon pemimpin sejati adalah yang memahami aturan dan menghormati proses, seperti yang ditunjukkan Ischak-Kholid. Tegal butuh pemimpin bersih, pemimpin tanpa embel-embel taktik murahan dan curang.