Siapa sih Mas Ishak? Ya, tentu saja dia bukan orang sembarangan. Keluarga besar yang begitu berpengaruh di Tegal, yang sudah diwariskan turun-temurun. Bapaknya, Haji Nurohman, adiknya Bahrudin Nasori, yang dulu duduk di DPR RI selama tiga periode dari PKB. Eh, tapi sayang, Bahrudin dikeluarkan dengan ‘hormat’ dari PKB dan pindah ke PPP. Pindah partai itu kan hal biasa, apalagi kalau memang kekuasaan jadi taruhan utama. Lagian, loyalitas itu apa sih, kalau yang penting adalah tetap berkuasa?
Rugi? Duh, siapa yang peduli! Uang itu bisa dicari lagi, kan? Lagipula, kalau harus mengeluarkan biaya besar demi menguasai kursi bupati, kenapa tidak? Ini soal perjuangan, bukan soal ‘untung rugi’. Lebih baik rugi miliaran, asal kekuasaan tetap di tangan keluarga. Di dunia politik, uang cuma modal, yang penting adalah siapa yang punya kuasa.
Dan jangan lupakan, Mas Ishak ini punya koneksi yang jauh lebih luas daripada yang kita kira. Dia bersaudara dengan Sabilillah Ardie, mantan Wakil Bupati Tegal. Jadi, dalam satu keluarga ini ada yang duduk di DPR, ada yang jadi wakil bupati, dan sekarang ada yang ngincar jadi bupati. Kenapa? Karena kekuasaan itu seharusnya jadi milik keluarga mereka, kan? Lebih gampang mengendalikan satu keluarga, daripada ribet ngurusin banyak orang.
Oh, dan ini bukan hanya soal politik, ini soal kontrol. Keluarga Mas Ishak punya ‘kewajiban’ untuk ‘membantu’ banyak pesantren dan kyai. Tentu saja ini bukan sekadar donasi, tapi investasi untuk kontrol lebih besar di masa depan. Kalau bisa menguasai pondok pesantren, kenapa tidak? Politik dan agama itu kan harus berjalan seiringan, bukan?
Lucunya, Tegal ini bukan cuma milik satu golongan saja. Tapi bagi keluarga Mas Ishak, ternyata satu kelompok besar saja sudah cukup untuk mengunci suara. Rakyat Tegal seakan nggak punya pilihan lain. Tegal bukan lagi milik semua golongan, melainkan milik keluarga ini. Dan siapa yang nggak mau jadi bagian dari ‘keluarga hebat’ ini? Kalau mau menang, ya harus ikut mereka.
Tapi kita harus tanya: apa semua ini benar-benar untuk rakyat? Atau hanya sekadar cara agar keluarga ini tetap di puncak kekuasaan? Kalau sudah begitu, adil nggak sih buat rakyat Tegal yang nggak sekeluarga dengan mereka? Tentu saja, mereka tak peduli soal itu. Yang penting suara bisa dibeli dan kursi bupati tetap aman di tangan mereka.
Pada akhirnya, rakyat Tegal harus lebih pintar. Dengan semua koneksi dan kekuatan ini, Mas Ishak jelas punya peluang besar. Tapi, apakah ini untuk kepentingan mereka? Atau hanya untuk memastikan bahwa dinasti politik ini tetap bertahan? Yang pasti, Tegal bukan milik satu golongan. Rakyat harus sadar, suara mereka tak akan bisa dibeli hanya dengan permainan keluarga besar ini.